أهل السنة والجماعة وا لجمعة الأ شاعرة والماتردية

Saturday 23 April 2011

Sejarah Kemboja






KAMBOJA atau Kampuchea merupakan negara di Asia Tenggara yang semula berbentuk Kerajaan di bawah kekuasaan Dinasti Khmer di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan Abad Ke-14. Rakyat Kamboja biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau Khmer, yang mengacu pada etnis Khmer di negara tersebut. Negara anggota ASEAN yang terkenal dengan pagoda Angkor Wat ini berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Vietnam. Sebagian besar rakyat Kamboja beragama Buddha Theravada, yang turun-temurun dianut oleh etnis Khmer. Namun, sebagian warganya juga ada yang beragama Islam dari keturunan muslim Cham.

Kamboja menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot memproklamirkan Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Tanggal 17 April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja. 



Merdeka dari Perancis 


Pada tanggal 9 November 1953, Perancis mengakhiri penjajahannya di Kamboja yang telah berlangsung sejak tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi sebuah negara berdaulat. Setahun kemudian mantan pemimpin negara kawasan Indo-China itu, Raja Norodom Sihanouk, kembali dari pengasingannya di Thailand. Sihanouk kemudian membentuk partai politik dan menggelar pemilihan umum (pemilu). Setelah memenangkan pemilu ia berhasil mengusir orang-orang komunis dan memperoleh seluruh kursi pemerintahan. 


Pada tahun 1955, untuk melepaskan diri dari segala bentuk pelarangan yang dibuat untuk raja oleh perundang-undangan Kamboja, Norodom Sihanouk mengembalikan tahta kepada ayahnya, Norodom Suramarit. Ia kemudian memasuki dunia politik. Selama pemilihan berturut-turut, pada tahun 1955,1958, 1962 dan 1966, partai bentukan Norodom Sihanouk selalu memenangkan kursi mayoritas di parlemen. 


Pada bulan Maret 1969, Pesawat Amerika mulai mengebom Kamboja untuk menghalangi jejak dan penyusupan dari tentara Vietkong. Pengeboman tersebut berakhir sampai tahun 1973. 


Pada tahun 1970, ketika Sihanouk sedang berada di Moskow dalam sebuah kunjungan kenegaraan, Marsekal Lon Nol melakukan kudeta di Phnom Penh. Lon Nol lalu menghapus bentuk kerajaan dan menyatakan Kamboja sebagai sebuah negara republik. Sihanouk tidak kembali ke negaranya dan memilih menetap di Peking, China. Ia memimpin pemerintahan dalam pelarian dan Khmer Merah merupakan bagian dari pemerintahan tersebut. 


Khmer Merah 


Khmer Merah (Bahasa Perancis: Khmer Rouge) adalah cabang militer Partai Komunis Kampuchea (nama Kamboja kala itu). Pada tahun 1960-an dan 1970-an, Khmer Merah melakukan perang gerilya melawan rezim Shihanouk dan Marsekal Lon Nol. Pada 17 April 1975, Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan dan menjadi pemimpin Kamboja. 


Hanya dalam beberapa hari saja, rezim baru ini telah menghukum mati sejumlah besar rakyat Kamboja yang tadinya bergabung dengan rezim Lon Nol. Penduduk Phnom Phen dan juga penduduk di provinsi lain terpaksa keluar dari kota dan pindah ke daerah-daerah penampungan. Phnom Phen menjadi kota mati. Seluruh perekonomian di seluruh negeri berubah di bawah garis keras komunis, Uang hilang dari peredaran. Akibat dari semua itu adalah terjadinya kelaparan dan wabah penyakit di daerah tersebut. 


Selama 44 bulan berikutnya, jutaan orang Kamboja menjadi korban teror dari Khmer Merah. Para pengungsi yang berhasil lari ke Thailand menceritakan kekejaman kelompok ini yang antara lain menghukum mati anak-anak hanya karena mereka tidak lahir dari keluarga petani. Selain itu orang-orang keturunan Vietnam dan Cina juga turut diteror dan dibunuh. Siapa saja yang disangka sebagai orang yang berpendidikan, atau menjadi angota dari keluarga pedagang pasti dibunuh dengan cara dipukul sampai mati, bukan dengan ditembak dengan dalih untuk menghemat amunisi. 


Killing Fields (Ladang Pembantaian) 


Masa empat tahun Pol Pot dan Khmer Merahnya berkuasa di Kamboja, adalah masa yang membuat seluruh dunia geger. Khmer Merah berupaya mentransformasi Kamboja menjadi sebuah negara Maois dengan konsep agrarianisme. Rezim Khmer juga menyatakan, tahun kedatangan mereka sebagai "Tahun Nol" (Year Zero). Mata uang, dihapuskan. Pelayanan pos, dihentikan. Kamboja diputus hubungannya dengan luar negeri. Hukum Kamboja juga dihapuskan. 


Rezim Khmer Merah dalam kurun waktu tersebut diperkirakan telah membantai sekitar dua juta orang Kamboja. Ada sekitar 343 "ladang pembantaian" yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Choeung Ek adalah "ladang pembantaian" paling terkenal. Di sini, sebagian besar korban yang dieksekusi adalah para intelektual dari Phnom Penh, yang di antaranya adalah: mantan Menteri Informasi Hou Nim, profesor ilmu hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy Scott dari Australia. Sebelum dibunuh, sebagian besar mereka didokumentasikan dan diinterogasi di kamp penyiksaan Tuol Sleng. 


Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah organ rezim Khmer Merah yang paling rahasia. Pada 1962, penjara S-21 merupakan sebuah gedung SMA bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol, nama sekolah diubah menjadi Tuol Svay Prey High School. 


Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik Tuol Svay Prey, sebelah selatan Phnom Penh, mencakupi wilayah seluas 600 x 400 meter. Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan Khmer Merah, sekolah diubah menjadi kamp interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik. Di “ladang pembantaian” ini, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan kerabat atau sejawat sesama intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15 nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab, mereka akan disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan alkohol. Mereka juga disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum perempuan karena kerap diperkosa saat diinterogasi. 


Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan, mereka akan dieksekusi di Choeung Ek. Sejumlah tahanan politik yang dinilai penting ditahan untuk diinterogasi sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi.  


killing fields kamboja 
Haing S Ngor yang masa itu berprofesi sebagai seorang dokter adalah segelintir intelektual yang berhasil lolos dari buruan rezim Khmer Merah. Haing dianugerahi Piala Oscar tahun 1984 atas perannya di film "The Killing Fields". Dalam film itu, ia memerankan tokoh Dith Pran, jurnalis Kamboja yang selamat dari pembantaian. Namun malang, Haing tewas terbunuh di kediamannya di Los Angeles, AS, ketika melawan perampokan yang dilakukan tiga pecandu narkoba pada 1996. 


Intervensi Vietnam 


Pada tanggal 25 Desember 1978, setelah beberapa pelanggaran terjadi di perbatasan antara Kamboja dan Vietnam, tentara Vietnam menginvasi Kamboja. Tanggal 7 Januari 1979, pasukan Vietnam menduduki Phnom Penh dan menggulingkan pemerintahan Pol Pot. Pemerintahan boneka lalu dibentuk di bawah pimpinan Heng Samrin, mantan anggota Khmer Merah yang telah membelot ke Vietnam. Namun pemerintahan baru ini tidak diakui oleh negara-negara Barat. Sementara Pol Pot dan para pengikutnya lari ke hutan-hutan dan kembali melakukan taktik gerilya dan teror. Pol Pot yang bernama asli Saloth Sar akhirnya meninggal di tengah hutan pada 15 April 1998 karena serangan jantung. 


Menuju Perdamaian 


Pada tahun 1982, Tiga kelompok (faksi) yang masih bertahan di Kamboja yaitu Khmer Merah, dan Front kemerdekaan nasional, netral, kedamaian dan kerja sama Kamboja (FUNCINPEC) pimpinan Pangeran Sihanouk, serta Front nasional kebebasan orang-orang Khmer yang dipimpin oleh perdana menteri yang terdahulu yaitu Son Sann, membentuk koalisi yang bertujuan untuk memaksa keluar tentara Vietnam. Tahun 1989, tentara Vietnam akhirnya mundur dari Kamboja. 


Tahun 1992, PBB (UNTAC), mengambilalih sementara pemerintahan negara ini. Tahun berikutnya, PBB menggelar pemilu demokratis yang dimenangkan oleh FUNCINPEC. Faksi ini kemudian membentuk pemerintahan koalisi bersama Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen. 





                Kekejaman Pol Pot Punca Kemunduran Rakyat Kemboja.

SIAPA Pol Pot? Beliau dilahirkan di Wilayah Kompong Thrum pada 19 Mei 1925 dengan nama Salothi Sar. Beliau daripada keluarga yang berada dan menjadi Perdana Menteri Kemboja pada 1976 hingga 1978. Ketika berkuasa, negara itu dikenali sebagai Kempuchea. Pol Pot juga sangat rapat dengan keluarga diraja sejak kakaknya menjadi gundik raja.
Beliau lulusan kolej dan sekolah teknikal sebelum melanjutkan pelajaran ke Perancis dan menjadi sukarelawan briged buruh antarabangsa untuk membina jalan di Yugoslavia pada 1950. Ketika di seberang laut, Pol Pot terbabit Komunis Perancis – pergerakan antipenjajah yang menyokong perang Vietnam menentang Perancis. Beliau kemudian menyertai gerakan rahsia komunis dikenali sebagai Cercle Marxiste yang kemudian mengambil alih Persatuan Pelajar Khmer pada 1951.
Berikutan gagal peperiksaan, Pol Pot terpaksa kembali ke Kemboja pada 1953. Dalam beliau mengajar kesusasteraan Perancis dan sejarah, beliau kembali menjadi penghubung antara parti politik seperti Demokrat dan Pracheachon dengan gerakan komunis bawah tanah. Pada 1960-an, Kerajaan Kemboja menahan anggota Pracheachon dan Pol Pot bangkit serta-merta menjadi setiausaha parti komunis.
Pembabitan dalam gerakan komunis mendorong beliau melarikan diri ke Vietnam di mana beliau menubuhkan gerakan Khmer Rouge. Pol Pot mula berkuasa di Kemboja apabila ibu kotanya, Phnom Penh ditawan pada 1975. Parti itu memulakan matlamat untuk membendung kapitalisme dengan memindahkan semua warga kota itu ke kawasan luar bandar. Wang tidak ada nilainya lagi. Makanan dan pelajaran digerakkan secara berkelompok.
Pihak yang menunjukkan penentangan akan dibunuh secara kejam. Daripada lapan juta penduduknya pada 1975, dua juta daripadanya dibunuh. Kemunduran mencetuskan krisis kebuluran, namun mereka enggan menerima bantuan asing.
Pada 1978, Vietnam memasuki Kemboja dan menyebabkan Pol Pot melarikan diri ke Thailand. Beliau menghabiskan 20 tahun tinggal di kem dalam hutan di sempadan Thailand-Kemboja. Pada 15 April 1998, dia diserahkan kepada pihak berkuasa Amerika. Pol Pot yang menghidap penyakit Hodgkins dan barah serta lumpuh, dilaporkan mati ketika tidur. Persoalannya ialah adakah beliau mati kerana penyakit atau membunuh diri.
Timbalan Menteri Hal Ehwal Islam Kemboja, Dr Sos Mousine, berkata Pol Pot bertanggungjawab di atas kemunduran penduduk Kemboja sekarang termasuk etnik Melayu Cam.
“Beliau membina penjara tanpa tembok terbesar di dunia. Kami hanya fikir bahawa esok mungkin akan mati,” katanya merujuk kepada penderitaan rakyat negara itu ketika pemerintahan Pol Pot.
Cerita kekejaman Pol Pot dan tentera Khmer Rouge sangat banyak dan kini kebanyakan sejarah itu sudah dibukukan dan sebahagian lokasi pembunuhan itu dikekalkan sebagai muzium.
Mengenai musim kemarau sekarang, beliau berkata: “Penduduk terus menunggu bila hujan akan turun. Mereka tidak boleh berbuat apa-apa pun. Mereka tidak ada kerja.”
Dr Mousine berkata, etnik Melayu Cam bukan malas, tetapi keadaan mereka sekarang disebabkan tidak ada pendidikan.
Sementara itu, Pengerusi Eksekutif Nusantara Technologies Sdn Bhd, Datuk Ghazali Yusoff, ketika ditanya pembabitan pihaknya dalam membantu menganjurkan Persidangan Antarabangsa Warisan Melayu di Indochina berlangsung di Phnom Penh, baru-baru ini, berkata: “Ini sumbangan saya kepada saudara saya di rantau ini.”
Beliau juga dalam rancangan membina kompleks khas di Janda Baik, Pahang untuk dijadikan pusat penyelidikan, persidangan dan kegiatan berkaitan kebudayaan Melayu serantau oleh mana-mana pihak berminat termasuk ahli akademik, badan bukan kerajaan (NGO) mahupun persatuan.
Di tanya mengenai masa depan Melayu Cam, Ghazali yakin Kerajaan Kemboja jujur dalam membenarkan usaha membina semula sosioekonomi serta pembangunan dakwah dalam komuniti etnik itu.
“Kemboja pun negara anggota ASEAN. Jadi, kita kena bekerjasama secara erat dengan semangat ASEAN untuk membantu mereka (Melayu Cam). Kita adalah bersaudara. Jadi saya sangat optimistik terhadap (masa depan) Melayu Cam,” katanya.
Katanya, Melayu Cam boleh maju dengan syarat mereka bekerjasama dengan orang Melayu lain dan lingkungan diaspora Melayu yang lebih maju.
“Mereka sebahagian daripada diaspora Melayu. Kalau bangsa lain boleh melakukan sesuatu terhadap diaspora mereka, kenapa kita tidak boleh melakukannya. Yang penting kita susun pelan dan tindakan kita,” katanya.
Namun, seperti kebanyakan generasi muda lain yang mula mengecap nikmati pembangunan, perkara sama berlaku di Kemboja.
“Anak muda sekarang tidak mahu tahu kepayahan ayah dan datuk mereka 30 tahun dulu. Bagi mereka, itu tinggal sejarah dan tidak ada kena mengena dengan mereka lagi,” kata Ou Namm, pemandu teksi di Lapangan Terbang Antarabangsa Phnom Penh.  ~~BH

No comments:

Post a Comment

الهى أنت مقصودى ورضاك مطلوبى أعطنى محبتك ومعرفتك ياالله

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...